DeMAM Yang Ngeri-Ngeri Sedap



Meminjam ungkapan selebriti politik –tersangka kasus suap SKK Migas-- Sutan Bathoegana, “ngeri-ngeri sedap” saya membaca berita kritikan Anggota DPRD NTT terhadap program Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM). Sedap karena sikap kritis legislator kita baik dan sangat perlu. Tetapi ngeri karena kekritisan itu berujung tuntutan menghentikan program ini. DeMAM itu sendiri juga ngeri-ngeri sedap. Sedap karena landasan filosofi, tujuan, dan grand concept-nya baik, sekaligus ngeri karena sejumlah persoalan dalam implementasinya. Saya jamin publik akan turut merasa ngeri-ngeri sedap jika menggunakan kaca mata saya dalam menilai DeMAM. Mari ...

Yang Sedap dari DeMAM

Setahu saya, DeMAM adalah wujud operasional dari semangat Anggur Merah, akronim dari Anggaran untuk Rakyat Meraih Sejahtera yang menjadi ikon pemerintahan Gubernur Frans Lebu Raya. RPJMD 2009-2013 menempatkan Anggur Merah sebagai “prinsip yang menjadi landasan bagi arah kebijakan keuangan daerah,” sementara RPJMD sedang berjalan menyebutnya spirit dan paradigma “...untuk mewujudkan anggaran pembangunan yang lebih besar berpihak kepentingan rakyat (belanja publik) dari pada belanja pemerintah (belanja aparatur) ...,” juga sebagai wujud strategi pemberdayaan rakyat yang merupakan salah satu strategi pokok pembangunan NTT. Sebagai operasionalisasi spirit Anggur Merah, DeMAM adalah bentuk nyata komitmen alokasi anggaran pro-rakyat.

Tetapi DeMAM melampaui kebijakan anggaran memihak rakyat. Ia program partisipatif. Melalui DeMAM rakyat pedesaan berlatih mandiri di dalam perencanaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban dana hibah yang tergolong besar, Rp 250 juta per desa.

DeMAM juga berdampak memberdayakan karena alokasi dana pada program ini dibatasi untuk usaha produktif rakyat. Berbeda dengan editorial Victory News (24/5/2014) yang menilai program ini sebagai aksi sinterklas, saya justru melihat DeMAM sebagai program memberi “kail”. Aksi “bagi ikan” lebih pas dicapkan pada program serupa BLT pemerintahan SBY, tetapi kredit modal usaha dari DeMAM adalah “joran” bagi masyarakat. Apalagi ada pendampingannya, yang berarti rakyat juga dibimbing dalam belajar seni memainkan “gandar”.

Saya berani menyanjung DeMAM sebagai pelopor dalam pemihakan pembangunan desa. DeMAM diluncurkan pada 2011, sementara UU Desa yang mengatur 10 persen dana perimbangan kabupaten/kota langsung disalurkan ke desa baru disahkan pada Januari 2014. DeMAM juga mendahului janji capres Jokowi mewujudkan desa produktif, dan janji 1 miliar perdesa dari capres Prabowo.

DeMAM lebih progresif dibandingkan janji progam Bank Tani Jokowi dan Prabowo karena kredit usaha petani di desa bersumber pada dana masyarakat itu sendiri (dihibahkan pemprov); kebijakan kredit, pengawasan, dan pertanggungjawaban pengelolaannya dilakukan oleh rakyat; demikian pula margin laba dari penyaluran kredit tersebut menjadi hak rakyat. Meminjam istilah seorang perempuan kades di Adonara, “Desa Mandiri Finansial” dan istilah Jokowi, “Desa Produktif’ adalah capaian jika kelak program DeMAM berhasil.

Yang Ngeri dari DeMAM

Rangkaian pujian di atas adalah pada niat, pada konsep besar DeMAM. Tetapi menilai sebuah program tidak bisa sebatas konsepnya. Yang lebih penting adalah pada implementasinya di lapangan karena yang terjadi di dalam praktik mengonfirmasi kesungguhan niat, kejujuran konsep. Sayangnya, pada tingkatan ini kita membentur kendala. Tidak banyak informasi yang diterima publik tentang progress capaian program. Pengetahuan publik semata-mata jumlah desa penerima program, sebatas jumlah dana tersalurkan. Soal apakah dana tersebut dimanfaatkan dengan benar dan tujuan program tercapai, publik sama sekali buta. Benarlah editorial Victory News, “seberapa jauh keberhasilan atau pun kegagalan DeMAM hanya diketahui segelintir orang di Bappeda NTT dan kalangan Dewan.”

Sudah rahasia umum, kehumasan pemerintah lebih sering diarahkan untuk perang propaganda demi kelanjutan legitimasi rejim dibanding sebagai bentuk transparasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan. Tidak heran jika pemerintah gencar meneriakkan prestasi-prestasinya, sedangkan kegagalan sering senyap-warta. Maka ketika tak banyak propaganda sukses DeMAM, publik boleh curiga, jangan-jangan memang cuma seujung kuku capaian program ini. Kegerian pertama.

Kemungkinan lain, terbatasnya informasi tentang capaian program DeMAM disebabkan Pemprov NTT sejatinya tidak begitu peduli pada tujuannya. Coba tengok Indikasi Rencana Program Prioritas di dalam RPJMD 2013-2018. Pada dokumen itu, indikator kinerja program (output) DeMAM sebatas jumlah kelompok penerima dana (1.000 kelompok per tahun) dan jumlah desa penerima program (bakal genap 100 persen pada 2017). Tidak ada penjelasan tentang target pekembangan volume usaha; tingkat dan kecepatan pengembalian dan guliran dana pinjaman; dan pembentukan kapital kolektif di desa (dana desa berupa pendatapan bunga) dari guliran pinjaman dana hibah DeMAM. Ini bisa ditafsirkan bahwa kepedulian utama pemprov sebatas “kejar setoran” pencairan dana, bukan pencapaian tujuan pertumbuhan usaha ekonomi produktif masyarakat desa dan percepatan pembangunan ekonomi pedesaan. Wajar jika orang berpandangan populisme ini tak lebih aksi bagi duit demi pencitraan. Ngeri kedua.

Di dalam percakapan publik, persoalan paling banyak disoroti terkait DeMAM adalah kapasitas tenaga pendamping program atau fasilitator desa, terutama menyangkut etos kerja dan keahlian melakukan pendampingan. Ditenggarai, kelemahan kapasitas fasilitator bersumber pada perekrutan yang lebih mengutamakan pertimbangan kepentingan politis. Ngeri ketiga.

Terbatasnya kapasitas membuat fasilitator gagal mengubah cara pandang masyarakat terhadap program guliran dana pemerintah. Kelompok-kelompok dadakan didirikan, bukan demi pemberdayaan tetapi sebagai syarat menangkap “uang gampang.” Maka segera setelah diterima kelompok, dana langsung dibagi-bagi ke anggota, lalu berakhir di urusan adat, lapak tuak, serta belanja makan keluarga beberapa hari. Program kandas. Ngeri keempat.

Jika mau jujur, alih-alih keterbatasan kapasitas, persoalan fasilitator justru terletak pada over-ekspektasi kapasitas mereka. Para fresh graduate tanpa pengalaman terlibat di dalam pendampingan masyarakat ini dituntut memiliki keahlian memfasilitasi perencanaan kelompok dan komunitas sekaligus memiliki pengetahuan teknis terkait usaha-usaha ekonomi masyarakat. Sebelum terjun ke tengah masyarakat, mereka hanya dibekali pelatihan singkat. Sulit berharap hasilnya akan baik.

Dengan singkatnya masa pelatihan seharusnya para fasilitator diberikan materi yang berfokus pada keahlian memfasilitasi. Sementara pendampingan aspek teknis usaha produktif diserahkan kepada tenaga berpengalaman yang dimiliki SKPD-SKPD. Lebih tepat jika dinas pertanian, dinas peternakan, dinas perindustrian dan perdagangan, dan SKPD terkait lainnya mengirim tenaga-tenaga penyuluh mereka memback-up fasilitator desa. Sayangnya, evaluasi sejumlah pihak menemukan minimnya keterlibatan SKPD-SKPD. Bappeda cenderung menjadi pemain tunggal. Bagaimana mungkin sebuah program strategis operasionalisasi Anggur Merah sebagai spirit dasar pembangunan NTT tidak dimainkan oleh sebuah tim lengkap, sebuah kekuatan penuh. Publik pantas mempertanyakan keseriusan tekad pemprov menyukseskan program ini. Ngeri kelima.

Lantas, Lanjut atau Berhenti?


Persoalan program Desa Mandiri Anggur Merah bukan pada tujuan, niat dasar, dan konsep besarnya. Banyak lubang yang bikin ngeri ada pada konsep detil dan pelaksanaannya. Maka lebih bijak jika program ini tidak dihentikan. Mungkin moratorium hingga dilaksanakannya evaluasi menyeluruh yang menghasilkan sejumlah langkah perbaikan pada pelaksanaan dan pengawasannya merupakan pilihan lebih baik.***



_______________________
Dipublikasi cetak di Harian Victory News, 30 Mei 2014

Untuk kepentingan pengutipan, sila gunakan format bibliography Chicago Manual of Style 16th edition berikut:

Kulas, George Hormat. “DeMAM Yang Ngeri-Ngeri Sedap.” Victory News, May 30, 2014.

Postingan Populer