Resource Curse dan Kekeliruan Prof. Moran

Online Course “Globalization’s Winners and Losers: Challenges for Developed and Developing Countries” dimulai hari ini. Materi I di minggu I adalah tentang Resource Curse atau Kutukan Sumber Daya (Alam).

Materi ini dibuka dengan introductory video lecture oleh lead faculty,  Professor Theodore H. Moran. Ia tokoh penting di International Business and Finance at the Schoolof Foreign Service, Georgetown University. Host kuliah ini memang Goergetown University.

Paparan Prof Moran tentang resource curse bikin enek.
Soalnya begini...

Resource Curse itu maksudnya kondisi dimana negara yang kaya sumber daya alam justru pertumbuhan ekonominya lambat. Padahal seharusnya kekayaan sumber daya alam itu bisa digunakan untuk membangun negeri.

Bentuk lain dari resource curse adalah fenomena yang disebut “Dutch Disease.” Ini adalah kondisi dimana exchange rate dari mata uang negara kaya sumber daya alam mengalami overvalued. Kondisi ini dipandang merugikan ekspor komoditas lain karena harganya menjadi lebih mahal sehingga kalah bersaing di pasar internasional.

Sedikit meluas, sekedar agar tahu, yang disebut kondisi exchange rate overvalued adalah nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing melampaui purchasing power parity (PPP). PPP (di Indonesiakan sebagai Paritas Daya Beli) merupakan konsep yang diperkenalkan oleh David Richardo berdasarkan The Low of One Price (Hukum Satu Harga). Hukum ini menyatakan harga barang atau jasa sejenis di dua negara berbeda akan sama jika dinilai dengan mata uang yang sama.

Secara matematis, PPP didefinisikan sebagai E =  Pd/Pf, artinya nilai tukar dari mata uang uang domestik (E) terhadap suatu mata uang asing seharusnya setara perbandingan harga barang sejenis di pasar domestik dan pasar negara bermata uang asing itu. Misalnya, jika harga sebungkus rokok Gudang Garam filter di Indonesia adalah IRD 8.000,- dan di Amrik adalah USD 0.8,- (setelah dipotong bea transport angkutnya), maka nilai tukar Rupiah seharusnya IRD 8.000/USD 0,8 = 10.000 IRD/USD. Ini lah purchasing power parity-nya. Nah, kalau nilai tukar Rupiah jadi 8.000 IRD/USD, dikatakan rupiah overvalued. Dampaknya sebungkus GG Filter di Amrik naik jadi USD 1,-. Andaikan GG Filter juga diproduksi negara lain yang nilai tukar mata uangnya (terhadap dollar) setara atau lebih rendah PPP, tentu orang Amrik lebih milih beli GG Filter dari sana karena lebih murah. Nah, sekarang jelas kan kenapa Prof. Moran mencak-mencak , menilai negara kaya tambang yang kena Dutch Disease (bagian dari Resource Curse) merugikan ekspor komoditi lain dari negara itu.

Tetapi Prof. Moran tidak harus marah-marah, karena currency yang overvalued tidak harus dipandang negatif, tergantung sudut pandang. Bahkan untuk konteks Indonesia yang lebih banyak ngimpor daripada ngekspor, mending rupiah overvalued dari pada undervalued, karena dengan itu barang-barang impor jadi lebih murah.

Contohnya gini. Orang Amrik buat kolor dan jual ke negara kita. Andaikan harga kolor disana 1 dollar sepotong. Saat kondisi normal (nilai tukar setara PPP), duit Rp 10.000,- kita hanya bisa dipakai membeli sepotong kolor. Jika Rupiah overvalued jadi Rp 5.000,-/dollar, itu berarti dengan duit Rp 10.000,- kita bisa membeli dua potong celana kolor. Lebih untung kan?

Okay, sekarang kita kembali ke pokok bahasan.

Yang bikin saya enek adalah pertama, dalam presentasinya, Prof. Moran menyebut Indonesia sebagai salah satu contoh negara yang ”very successful in using their rich resources,” jadi tidak mengalami resource curse. Bagi saya, ini pendapat yang sangat keliru. Bagaimana bisa kita disebut sangat sukses manfaatkan SDA jika kenyataannya setiap harga minyak dunia naik, negeri yang dulu dikenal sebagai kaya minyak ini tekor melulu. Bagaimana bisa disebut sukses jika rakyat di daerah-daerah tempat eksploitasi tambang berlangsung justru paling miskin merana?

Kesalahan kedua dari Prof. Moran adalah ia menyebut penyebab resource curse semata-semata “There is a lack of transparency. There is a lack of accountability.” Menurutnya negara-negara kaya SDA yang tidak maju-maju itu karena “foreign investment in oil and gas and coal and copper get siphoned off in corruption. ... into private pockets and authoritarian leaders.

Benar bahwa korupsi adalah salah satu problem pokok kita, termasuk korupsi di sektor pertambangan dan Migas. Tetapi itu bukan satu-satunya akar masalah, bahkan bukan yang terburuk. Yang paling parah dari problem pertambangan dan migas – dan lucu kalau Prof. Moran tidak mengetahui ini—adalah kontrak kerja sama yang menguntungkan investor asing yang mendominasi usaha di sektor ini. Apalagi, biang kerok dari kontrak tak adil ini bukan authoritarian leaders, melainkan justru pemerintahan liberal demokrat, prosedural (palsu) dalam berdemokrasi, dan superliberal dalam haluan ekonomi. Tentang problem penguasaan asing dan carut marut sektor migas kita, tidak perlu saya kupas disini. Anda bisa kunjungi artikel lama saya, *Just click Petaka Negeri Minyak di http://hormat.net.

Postingan Populer