Jadi Smart Voter, Jangan Suporter Bola

Suatu saat Anda mungkin ditanya rakyat pemilih soal siapakah, menurut analisis Anda, bacagub NTT yang berpeluang besar menangkan Pemilukada NTT 2013 nanti. Jangan kaget kalau jawaban Anda justru bikin marah si penanya. Jangan terkejut jika Anda tiba-tiba ditelepon tim sukses pasangan tertentu, mengecam Anda. Itu terjadi saat prediksi Anda bertentangan dengan harapan mereka, figur yang mereka dukung. Jawaban Anda menjadi masalah besar.

Saya suka menyandingkan kondisi ini dengan perilaku suporter awam sepak bola.


Sejak sepak bola menjadi budaya dunia, banyak orang "terpaksa" jadi suka bola. Banyak di antara yang biasa ikut begadang nonton tayangan pertandingan sepak bola di televisi sebenarnya tak sungguh punya minat. Saya duga, orang-orang ini ikut menonton, larut dalam ketegangan, juga kegembiraannya, semata-mata demi tidak dipandang aneh, hari gini "tak suka sepak bola." Mungkin juga agar tidak tersisih dari pergaulan sosial yang banyak diisi percakapan seputar sepak bola.

Karena itu jika orang-orang ini ditanya, apa kesebelasan idola mereka, tanpa pikir panjang, mereka akan menyebut kesebelasan atau club yang terkenal karena langganan juara. Sebabnya bisa karena: 1 ) pengetahuan mereka sebatas team yang sering diulas media atau dibicarakan publik karena sering menang; atau 2) Mereka ingin menjadi bagian dari kubu pemenang.

Nah, kecenderungan suporter sepak bola seperti ini ternyata dimiliki juga oleh masyarakat pemilih dalam pemilu, pemilukada, dan pilpres.

Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai orang-orang ngotot berdebat soal siapa kontestan pemilukada yang akan menang. Perdebatan ini kadang berubah menjadi pertikaian karena para pihak ternyata partisan. Pendukung calon A bersikukuh jika calonnya yang berpeluang paling besar menang. Begitu juga pendukung calon B, C, dan seterusnya. Terkadang argumentasi yang digunakan masuk akal, tetapi lebih sering seenaknya, berdasarkan klaim bombastis yang mereka dengar dari tim sukses atau berbasis amatan sepintas pada responden yang tidak representatif. Seringkali perdebatan tak pernah beranjak dari sekedar siapa kuat siapa lemah. Jika si A terpengaruh argumentasi si B, si A akan mengubah dukungan politiknya mengikuti haluan si B. Jika informasi yang sampai ke telinga suatu kelompok masyarakat calon C paling kuat, maka paling banyak dukungan diberikan ke calon itu. Catatan: tentu saja sentimen primordial tetap menjadi faktor penentu.

Kondisi seperti ini bisa jadi disebabkan oleh: Pertama, masyarakat belum sungguh-sungguh menyadari hubungan erat momentum politik pemilukada (juga pemilu dan pilpres) dengan perbaikan kondisi hidup mereka; kedua, masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang visi, misi, dan rencana program kerja bacagub-wagub.

Bukan salah rakyat jika demikian. Pengalaman silih berganti pemerintahan dan parlemen yang tidak pro-rakyat selama ini membuat rakyat menilai momentum politik seperti pemilu tak ubahnya turnamen sepak bola. Tak ada yang terlalu penting di sana, toh yang siapa pun yang terpilih tetap sama, kebijakannya anti-rakyat.

Bisa juga, para politisi itu sendiri yang tidak memiliki visi-misi-program perjuangan yang jelas dan menjadi jalan keluar kondisi keterpurukan bangsa. Visi-misi-program hanya barisan kata-kata indah, mengawang-awang, tanpa bisa dibayangkan bagaimana konkrit perwujudannya—karena memang tak hendak diwujudkan--. Berpolitik sekedar demi kursi, demi jabatan.

Karena tidak punya gagasan yang melandasi aktivitas berpolitiknya, perhitungan kuat-lemah elektabilitas si politisi menjadi jualan utama ke publik. Maka tidak heran jika hanya itu pula yang diketahui tim pendukung dan rakyat pemilih, dan dijadikan pijakan argumentasi. Akhirnya, analisis soal tinggi-rendah elektabiltas menjadi problem penting. Sayang sekali.***

Postingan Populer