Tak Tahu Berterima Kasih?

Tiba teing” ...seorang kawan online berterima kasih sambil melucu. Frasa itu hasil utak-atik-asal bahasa Manggarai, Flores. “Tiba” itu terima, “teing” kasih. Terima kasih. Utak-atik-asal, karena tak ada kata terima kasih di dalam bahasa Manggarai, dan setahu saya juga bahasa etnis-etnis lain di kepulauan di Timur Sunda Kecil ini.

“Apa itu karena orang-orang sini belum lama meninggalkan masa barbar, dan karena itu kurang berbudi,” kata seorang sahabat yang agak sovinis, pendatang dari Barat Nusantara.


“Mungkin, kalau diduga dari persepsi negatifmu,” jawab saya. “Dari sudut pandang yang positif, kita boleh menduga itu karena menolong adalah lumrah bagi orang-orang Nusa Tenggara Timur.”

Ya, boleh jadi membantu sesama adalah hal kecil yang lazim bagi orang-orang NTT, semudah orang-orang di Barat Nusantara melempar senyum dan bertegur sapa satu terhadap yang lainnya. Karena wajar, bukan hal luar biasa, kita jarang mendengar orang berterima kasih atas sebuah senyuman. Nah, meski melempar senyum dan menyapa ramah kadang sulit dijumpai di sebagian kota di NTT, mungkin karena teriknya matahari terlalu menyiksa wajah, toh urusan tolong-menolong sewajar saling senyum dan sapa di tempat lain. Jadi tak perlu berterima kasih untuk itu.

Selain itu, sepertinya orang-orang NTT yakin suatu perbuatan baik akan berganjar perbuatan baik pula. Ganjaran itu tiidak dalam makna karma sebagaimana diyakini para Budhist, tetapi balasan langsung dari si penerima kebaikan. Untuk urusan tertentu yang telah melembaga, seperti urunan urusan perkawinan dan upacara kematian, orang mengganjar pertolongan dengan kuantitas setara bantuan yang pernah diterima untuk urusan serupa. Jika tak salah, orang Manggarai menyebut prinsip itu  “dodo.”

“Tetapi bukankah itu mencerminkan oportunisme di balik uluran tangan?” Gugat kawanku, masih dengan sudut negatif.

“Mungkin....tetapi bisa jadi karena cara pandang kami terhadap tolong-menolong yang sudah kodrat dalam hidup manusia. Itu sebuah norma. Hidup tak bisa dihadapi sendiri. Lu susah kita bantu, kita butuh, lu tolong.” Saya membela diri.

Tentu saya yakin, dodo meski bersemangat do ut des, berakar pada kemuliaan masyarakat. Ia adalah the principle of reciprocity yang lahir dari keyakinan akan keniscayaan saling tolong. Sebagai orang Manggarai, saya tak pernah berpikir akan mendapat balasan setara saat urun tanggung biaya perkawinan kerabat. Tetapi sebaliknya memang, ketika telah dibantu, saya terbebani rasa wajib membalas, membantu dengan cara yang sama pada si penolong. Setahu saya, dari menyimak sebuah film laga, nilai ini pula yang diyakini orang Jepang, terutama ketika nyawanya pernah diselamatkan seseorang. Ia tak merasa bebas dari hutang budi selama belum membalas selamatkan nyawa si penolong.

So, tiba teing ;) ***

Komentar

Postingan Populer