Kredit Murah Perumahan untuk Kelas Oportunis

Kamis kemarin (29/3) ketika dimana-mana pemuda dan rakyat berjuang melawan kebijakan jahat neoliberal Presiden Yudhoyono yang menaikan harga BBM, saya dan istri justru berada dalam antrian mengurus kredit pembelian rumah sederhana pada sebuah bank pemerintah.

Kamis adalah hari terakhir kami masih bisa mendapat fasilitas bunga kredit flat 0,8 persen selama 2 tahun, meski float untuk belasan tahun sisanya. Setelah Kamis itu, bank hanya akan menjual kredit rumah sederhana dengan bunga pasar mengambang sejak awal tahun. Itu berarti antara 11.5-13 persen annual dalam kondisi perekonomian normal. Jika krisis, seperti 98 dahulu, bunganya bisa puluhan persen. Jangan lupa, baik krisis moneter 1998 pun krisis finansial 2007-sekarang, merupakan krisis overproduksi yang dipicu overproduksi dan overinvestment (over kapasitas produksi) di sektor perumahan.


Kamis ini sungguh bikin bad mood. Bukan karena urusan akad kredit itu berlangsung 4 jam lamanya, bukan juga karena saya tak bisa berada bersama pemuda dan rakyat dalam barisan unjukrasa. Yang buat jengkel adalah dari 18 orang yang menandatangani akad kredit kemarin itu, tak sampai separuh yang sebenarnya patut mendapatkan fasilitas kredit rumah sangat sederhana.
Benar. Lebih dari separuh orang-orang yang mengantri fasilitas kredit untuk rakyat itu adalah kalangan kelas menengah. Misalnya, seorang bapak muda yang datang bersama istri dan bayi mereka. Ia punya mobil mewah, digenggamannya ponsel seharga 7 jutaan. Penampilannya bersih, sebagaimana para pekerja yang senantiasa di ruang ber-ac. Ada juga seorang ibu yang mengaku sebagai dosen sebuah PTN. Kepada istri saya dengan bangga ia bercerita kalau ia membeli 4 rumah sekaligus, yang 3 tunai, dan 1 lagi kredit.

"Wah hebat ya, beli rumah seperti beli kacang goreng," kata istri saya setengah takjub setengah menyindir.

Ini jelas tidak benar. Sejatinya, kredit perumahan sangat sederhana disediakan bank plat merah untuk membantu memodali rakyat miskin mendapat rumah. Tetapi yang terjadi, justru kalangan kelas menengah yang lebih mampu lah yang mendapatkannya.

Kelas menengah itu terminologi a la amrik. Ia bukan penggolongan berbasis relasi produksi. Ini golongan yang diisi oLeh buruh kerah putih berupah tinggi, buruh sektor publik, dan petty borguese perkotaan. Ini adalah kelas yang terombang-ambing, antara bersolidaritas terhadap buruh, petani, spektrum luas kaum miskin kota atau menjilati sistem yang menguntungkan borjuasi.

Dukungan kelas menengah atas borjuasi tampaknya bersumber pada ruang luwes yang mereka miliki untuk meraih pendapatan tinggi. Tidak heran, meski sejatinya mereka bagian dari buruh juga, kadang watak mereka lebih menyerupai borjuasi: oportunis.

Sepertinya watak borjuasi inilah yang menjangkiti Mayoritas anggota kelas menengah di Kota Kupang, sebagaimana diwakili pria bermobil dan dosen pembeli 4 rumah tadi. Upah yang tinggi memungkinkan mereka menabung. Dengan tabungan itu mereka melipatgandakan asset (rumah) yang akan disewakan. Dengan demikian, kelak mereka naik kelas, menjadi borjuasi berbasis rente. Tidak heran jika banyak dosen di Kota Kupang mengecam para mahasiswa yang berjuang bersama rakyat.

Published with Blogger-droid v2.0.4

Komentar

Postingan Populer